Support By

Kamis, 06 Maret 2014

Tahta Untuk Rakyat: Manunggaling Kawula Gusti


Dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ada sebuah kisah mengharukan tentang Sultan Hamengku buwono IX, yang pernah dituturkan oleh S. K. Trimurti. Ya, sebuah kisah yang telah menjadi cerita rakyat dari dulu hingga sekarang. Kisah ini berkaitan dengan kebiasaan Sultan Hamengkubuwono IX yang selalu mengendarai mobilnya sendiri kemana pun pergi. Beliau adalah raja yang sering bepergian tanpa sopir dan pengawal. Bahkan, saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada masa kekuasaan Presiden Soekarno,beliau memilih naik mobil sendiri untuk hilir mudik ke Jakarta.

Memanggul Karung Pedagang Pasar 
Dari kebiasaan tersebutlah kisah ini bermula. Suatu ketika, Sultan Hamengkubuwono IX mengunjungi salah satu abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Kinahrejo, yang tidak lain adalah Mas Panewu Surakso Hargo alias Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Pada saat perjalanan pulang ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, di tengah jalan, tepatnya di sekitar jalan Kaliurang, beliau dihentikan oleh seorang ibu-ibu dengan beberapa karung dagangan. Beliau pun menghentikan mobilnya, kemudian membantu menaikkan karung-karung milik Ibu tadi ke atas mobilnya. Setelah selesai, beliau pun menancap gas meluncur ke Pasar Kranggan di Utara Tugu Yogyakarta, sebagai tujuan Ibu tadi.
Menghentikan sembarang mobil memang keharusan bagi Ibu-ibu yang akan mengangkut barang dagangannya ke pasar, apalagi saat itu masih di Yogyakarta masih jarang yang memiliki mobil. Setelah sampai di Pasar Kranggan, Sultan Hamengkubuwono IX pun ikut menurunkan dagangan milik si Ibu tadi. Melihat kejadian itu, orang-orang di pasar yang mengenal beliau, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terheran-heran, kaget, dan takjub. Jelas saja, itu adalah pemandangan yang sangat langka. Setalah selesai menurunkan barang, beliau pun pamit pergi. Ibu penumpang tadi pun hendak membayar atas tumpangannya, tetapi tentu saja Sultan Hamungkubuwono IX menolak, dan langsung pergi. Tak ayal Ibu penumpang itu ngedumel, ngomel-ngomel sendiri: “Dasar, sopir aneh, gak butuh duit, mau dibayar kok tidak mau,” begitu kira-kira.
Seorang polisi yang melihat kejadian itu pun langsung memberi tahu Ibu penumpang tadi bahwa sopir yang beliau tumpangi itu adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mendengar penjelasan itu, Ibu penumpang itu mendadak pingsan.
Cerita itu mengingatkan kepada kita semua kepada sebuah buku berjudul Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, sebuah autobiografi yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah. Dalam buku tersebut dikisahkan, betapa bijaksananya Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut.
Kisah Zaman Revolusi
Buku bersampul merah itu mengisahkan kembalinya Belanda bersama NICA pasca proklamasi 1945, dan kemudian menguasai kembali Ibu Kota Republik, Jakarta. Oleh karena itu, pada 1946, Sultan mengundang Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran kabinetnya untuk memindahkan Ibu Kota ke Yogyakarta. Pada saat itu, Yogyakarta merupakan negeri yang berdaulat dan diakui oleh Kerajaan Belanda. Rombongan Pemerintah Indonesia pun tiba di Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Padahal, secara pribadi, sebelumnya Sultan Hamengkubuwono IX tidak mengenal Soekarno, sehingga peristiwa tersebut menjadi pertemuan pertama mereka berdua yang sangat bersejarah. Dua hari setelah rombungan Jakarta datang, Yogyakarta pun diserang oleh Belanda.
Membaca kondisi Kota Yogyakarta yang akan jatuh kepada tentara Belanda, Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan para pejuang di bawah pimpinan Jendral Soedirman untuk menyingkir dari kota dan bergerilya. Meskipun demikian, para pejuang masih melakukan penyerangan-penyerangan secara sporadis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa TNI masih ada. Pada saat Belanda telah menguasai wilayah Kota Yogyakarta sepenuhnya, para pemimpin pun diasingkan, dan Sultan Hamengkubuwono IX pun diisolasi ke dalam wilayah keraton saja, tidak diperbolehkan keluar. Nah, di dalam keraton, Sultan Hamengkubuwono IX menyusun strategi perjuangan bersama para pegawai pemerintahan yang menyamar menggunakan pakaian abdi dalem (menjadi pegawai keraton), sehingga diperbolehkan masuk ke dalam keraton. Salah satu orang yang melakukan penyamaran tersebut adalah Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua RI.
Dalam waktu bersamaan, Sultan Hamengkubuwono IX juga berhubungan dengan Sjahrir untuk membuat RIS, sebuah pemerintahan sementara di Padang. Beliau juga aktif menggalakkan siaran-siaran radio internasional untuk membuka mata dunia bahwa pemerintahan dan tentara Indonesia masih ada, semua hal ini dilakukan agar Indonesia sebagai negara diakui eksistensinya. Dengan gerakan tersebut, akhirnya beliau ditawari pemerintah Belanda beberapa kekuasaan, yaitu seluruh pulau Jawa dan Madura, dengan syarat Belanda tetap boleh menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia. Akan tetapi, beliau menolak mentah-mentah. Begitulah sikap patriotik dan nasionalisme Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sebagai seorang nasionalis, Sultan Hamengkubuwono IX selalu memikirkan strategi mempertahankan berdirinya Indonesia. Bahkan, beliau tidak segan menanggung seluruh biaya pemerintahan, termasuk gaji Soekarno-Hatta dan seluruh kabinetnya, termasuk operasional TNI, dan pengiriman-pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi Internasional. Beliau tidak mau mengakui berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk itu semua, Akan tetapi, menurut Mohamad Hatta uang tersebut lebih dari 5 juta gulden, bukan uang yang sedikit pada zaman revolusi saat itu.
Kabar gembira pun terdengar dari kancah internasional, PBB menyatakan Indonesia menang dalam Konferensi Meja Bundar. Saat itu pula PBB memerintahkan Belanda untuk angkat kaki dari Indonesia. Para pemimpin dan menteri-menteri pun kembali ke Yogyakarta dari pengasingan dan persembunyiannya. Soedirman dan pasukannya juga kembali ke kota, sehingga terjadilah peristiwa proklamasi Indonesia yang kedua di Yogyakarta pada 1949. Cerita ini sangat jarang diungkap oleh sejarawan, maupun media.
Selanjutnya, Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran serta staff kabinet RI pun kembali ke Ibu Kota Jakarta pada 1949. Saat perpisaah, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta. Beliau berharap uang tersebut dapat dijadikan modal pembangunan republik yang masih bayi tersebut. Dalam upacara perpisahan dan memberikan cek tersebut, beliau sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berpidato di muka umum,dan mengakui kemiskinannya, seraya mengatakan “Yogyakarta tidak mempunyai apa-apa lagi.” Saat itu, beliau tidak mengatakan ‘saya’ atau ‘keraton’, tapi mengatasnamakan ‘Yogyakarta’. Ini adalah sebuah cerminan “manunggaling kawula gusthi” (bersatunya rakyat dan raja), penghargaan stinggi-tingginya terhadap rakyat jelata yang telah ikut berjuang.
Dalam suara bergetar dan uraian air mata, Soekarno pun berpidato pendek menanggapi hal tersebut, “Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu.” 
(Sumber : http://newyorkyakarta.net/tahta-untuk-rakyat )
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))